Jumat, 16 Mei 2025

ujian sekolah

 Hari ini adalah hari yang sangat penting bagi Shinta dan Sherly, dua siswi kelas 3 MTs Jaya Bakti. Mereka telah menunggu hari ini selama bertahun-tahun, dan akhirnya hari ini telah tiba. Hari ini adalah hari ujian akhir sekolah.


        Shinta dan Sherly telah menjadi teman sejak kelas 1. Mereka selalu belajar bersama, bermain bersama, dan mendukung satu sama lain. Mereka berdua sangat percaya diri bahwa mereka akan lulus dengan nilai yang baik.


        Saat mereka berangkat ke sekolah pagi ini, mereka berdua merasa sangat bersemangat. Mereka tahu bahwa hari ini adalah hari yang sangat penting, dan mereka ingin membuatnya menjadi hari yang sangat istimewa.


"Shinta, aku sangat gugup," kata Sherly saat mereka berjalan ke kelas.


"Aku juga, Sherly," jawab Shinta. "Tapi kita telah belajar dengan sangat keras. Kita pasti bisa melakukannya."


         Saat ujian dimulai, Shinta dan Sherly merasa sangat fokus. Mereka telah mempersiapkan diri dengan sangat baik, dan mereka tahu bahwa mereka akan mampu menjawab semua pertanyaan dengan sangat baik.


         Setelah ujian selesai, Shinta dan Sherly merasa sangat lega. Mereka tahu bahwa mereka telah melakukan yang terbaik, dan mereka merasa sangat percaya diri bahwa mereka akan lulus dengan nilai yang baik.


"Sherly, aku sangat bangga dengan kita," kata Shinta saat mereka berjalan keluar dari kelas.


"Aku juga, Shinta," jawab Sherly. "Kita telah melakukannya bersama-sama."


          Sekarang, Shinta dan Sherly hanya perlu menunggu hasil ujian. Mereka berharap bahwa mereka akan lulus dengan nilai yang baik, dan mereka berharap bahwa mereka akan dapat melanjutkan pendidikanku ke tingkat yang lebih tinggi.




kekuatan ada dalam kesabaran

        Ada sebuah kisah tentang seorang pria yang sangat marah dan frustrasi dengan kehidupan. Setiap kali ada masalah, dia cepat marah dan merasa tidak bisa menghadapinya. Suatu hari, dia menemui seorang bijak yang dikenal karena kesabarannya. Dia meminta nasihat kepada bijak tersebut untuk mengatasi emosinya.

        Sang bijak tersenyum dan memberinya tiga batu kecil. “Setiap kali kamu merasa marah atau tidak sabar, ambil salah satu batu ini dan pegang dalam tanganmu. Rasakan beratnya. Ini akan mengingatkanmu untuk berhenti dan berpikir sebelum bertindak."

         Beberapa minggu kemudian, pria itu kembali dengan wajah ceria. "Saya telah belajar banyak. Batu-batu itu memang sederhana, tapi setiap kali saya merasa marah, saya mengingat nasihatmu untuk berhenti sejenak dan merenung. Kini, saya merasa jauh lebih tenang dan bisa mengatasi masalah dengan pikiran yang lebih jernih.”

         Sang bijak mengangguk. "Kesabaran bukan berarti kita tidak merasakan emosi. Tetapi, itu adalah kemampuan untuk mengendalikan reaksi kita terhadap emosi tersebut. Dengan sabar, kita belajar bahwa setiap masalah ada jalan keluarnya, asalkan kita tidak terburu-buru mengambil keputusan."

        Pesan dari kisah ini adalah bahwa kesabaran adalah proses yang terus-menerus. Ia mengajarkan kita untuk berhenti sejenak, merenung, dan menilai dengan bijak sebelum bertindak



kasih sayang seorang ayah

 Di sebuah kota kecil yang tenang, hiduplah seorang pria bernama Pak Rudi. Ia adalah seorang tukang ojek yang telah menjadi ayah sekaligus ibu bagi anak semata wayangnya, Laila. Istrinya telah meninggal dunia saat Laila berusia tiga tahun, meninggalkan Pak Rudi dengan tanggung jawab besar untuk merawat dan membesarkan putrinya seorang diri.


Meskipun hidup mereka sederhana, Pak Rudi selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk Laila. Ia ingin anaknya tumbuh dengan penuh kasih sayang dan tidak merasa kekurangan, meskipun mereka hanya tinggal di rumah kecil di pinggiran kota.




Melewati Hari Bersama




Setiap pagi, sebelum Laila berangkat sekolah, Pak Rudi selalu menyiapkan sarapan sederhana. Ia mungkin tidak pandai memasak, tetapi ia selalu berusaha. "Yang penting perutmu kenyang, Nak," katanya sambil tersenyum.


Setelah mengantarkan Laila ke sekolah dengan motornya, Pak Rudi akan menghabiskan harinya mengojek, mencari penumpang di jalanan kota. Meski panas menyengat atau hujan turun deras, ia tetap bekerja keras demi memastikan Laila bisa mendapatkan pendidikan yang layak.


Sore hari, ia selalu menyempatkan diri untuk menjemput Laila, meskipun tubuhnya lelah. Dalam perjalanan pulang, mereka sering mengobrol tentang banyak hal—tentang pelajaran di sekolah, tentang teman-teman Laila, atau sekadar bercanda tentang hal-hal kecil yang mereka lihat di jalan.




Pengorbanan Seorang Ayah




Suatu hari, Laila pulang dengan wajah murung. Ia mendapat tugas sekolah yang mengharuskannya membawa seragam khusus untuk acara perpisahan. Seragam itu mahal, dan Laila tahu ayahnya mungkin tidak mampu membelinya.


Pak Rudi melihat kesedihan di mata putrinya. Malam itu, saat Laila sudah tidur, ia duduk merenung. Ia ingin anaknya bahagia, tetapi uang yang ia miliki hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari.


Tanpa berpikir panjang, keesokan harinya, Pak Rudi bekerja lebih keras dari biasanya. Ia bahkan mengambil pekerjaan tambahan sebagai buruh angkut di pasar pada malam hari. Tubuhnya terasa letih, tetapi bayangan senyum bahagia Laila membuatnya terus berjuang.


Beberapa hari kemudian, saat Laila pulang dari sekolah, Pak Rudi menyodorkan sebuah bungkusan. “Ini untukmu, Nak,” katanya dengan senyum hangat.


Laila membuka bungkusan itu dan terkejut. Itu adalah seragam yang ia butuhkan. “Ayah… bagaimana bisa?” tanyanya dengan mata berkaca-kaca.


Pak Rudi hanya mengusap kepala putrinya. “Ayah hanya ingin melihatmu bahagia.”


Laila langsung memeluk ayahnya erat. Ia tahu betapa besar pengorbanan yang dilakukan ayahnya untuknya.




Saat Perpisahan Datang




Waktu berlalu, dan Laila tumbuh menjadi gadis yang cerdas dan berprestasi. Setelah lulus SMA, ia mendapatkan beasiswa untuk kuliah di universitas ternama di kota lain. Ini adalah impian yang selalu ia dan ayahnya dambakan, tetapi itu juga berarti mereka harus berpisah.


Hari keberangkatan pun tiba. Di stasiun, Pak Rudi tampak berusaha menyembunyikan kesedihannya. “Belajarlah dengan giat, Nak. Jangan khawatirkan Ayah di sini. Yang penting, kamu bisa meraih cita-citamu,” katanya sambil tersenyum.


Laila menatap ayahnya dengan mata berkaca-kaca. “Aku janji, Ayah. Aku akan sukses dan membahagiakan Ayah.”


Pak Rudi mengangguk, lalu memeluk putrinya erat. Ia menahan air matanya, tetapi saat kereta mulai bergerak, ia tak bisa lagi menyembunyikan rasa harunya. Ia merasa bangga, tetapi juga sedih karena rumah mereka akan terasa lebih sepi tanpa Laila.




Cinta yang Tak Pernah Pudar




Tahun demi tahun berlalu, dan Laila akhirnya lulus sebagai mahasiswa terbaik. Ia langsung mendapatkan pekerjaan di sebuah perusahaan besar dan kembali ke kampung halamannya untuk menemui ayahnya.


Saat melihat Laila berdiri di depan pintu dengan wajah bangga, Pak Rudi tak bisa menahan air matanya. “Kamu sudah menjadi wanita hebat, Nak,” katanya dengan suara bergetar.


Laila tersenyum sambil menggenggam tangan ayahnya. “Semua ini karena Ayah. Aku tidak akan pernah melupakan semua pengorbanan dan cinta Ayah."


Mereka berdua berpelukan dalam kehangatan kasih sayang yang tak tergantikan. Laila tahu bahwa tak peduli sejauh apa pun ia pergi, cinta ayahnya akan selalu menjadi cahaya yang menerangi jalannya


Dan Pak Rudi tahu bahwa semua perjuangan dan pengorbanannya selama ini tidak sia-sia. Baginya, 

melihat putrinya bahagia adalah hadiah terbesar dalam hidupnya.



kisah nabiku

 Kelahiran dan Masa Kecil

Nabi Muhammad SAW lahir di Mekkah pada tahun 570 Masehi, dikenal sebagai Tahun Gajah. Ayahnya, Abdullah, wafat sebelum beliau lahir, dan ibunya, Aminah, wafat saat beliau masih kecil. Nabi Muhammad kemudian diasuh oleh kakeknya, Abdul Muthalib, lalu oleh pamannya, Abu Thalib.


Masa Muda

Muhammad dikenal sebagai orang yang jujur dan amanah, sehingga diberi gelar Al-Amin. Beliau bekerja sebagai pedagang dan terkenal karena kejujurannya. Pada usia 25 tahun, beliau menikah dengan Khadijah binti Khuwailid, seorang saudagar kaya yang kemudian menjadi pendukung utama dakwahnya.


Turunnya Wahyu

Pada usia 40 tahun, saat sedang bertafakur di Gua Hira, Muhammad menerima wahyu pertama melalui Malaikat Jibril. Wahyu ini adalah awal dari turunnya Al-Qur'an dan penunjukan beliau sebagai nabi dan rasul terakhir.


Dakwah di Mekkah

Beliau mulai berdakwah secara diam-diam, lalu terang-terangan. Banyak yang menentangnya, terutama dari kaum Quraisy, karena merasa ajaran Islam mengancam kedudukan dan tradisi mereka. Nabi dan para pengikutnya mengalami banyak penyiksaan dan boikot.


Hijrah ke Madinah

Karena tekanan yang semakin besar, Nabi dan kaum Muslimin hijrah ke Madinah. Di sana, beliau disambut hangat dan menjadi pemimpin masyarakat. Di Madinah, Islam berkembang pesat dan Nabi Muhammad membangun masyarakat yang adil dan damai.


Perang dan Perdamaian

Selama di Madinah, terjadi beberapa pertempuran seperti Perang Badar, Uhud, dan Khandaq. Namun Nabi Muhammad juga membuat perjanjian damai, seperti Perjanjian Hudaibiyah. Akhirnya, beliau dan para sahabat berhasil membebaskan Mekkah tanpa pertumpahan darah.


Wafat

Nabi Muhammad SAW wafat pada usia 63 tahun, di Madinah, setelah menyampaikan seluruh ajaran Islam. Beliau dimakamkan di rumah istrinya, Aisyah, yang kini menjadi bagian dari Masjid Nabawi.












apa itu SDA?

 SDA adalah singkatan dari Sumber Daya Alam, yaitu segala sesuatu yang berasal dari alam dan dapat digunakan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.


Jenis-jenis SDA dan Contohnya:

1. SDA Berdasarkan Sifatnya

SDA yang dapat diperbarui: sumber daya yang bisa digunakan berulang karena bisa pulih kembali.


Contoh: air, udara, tumbuhan, hewan.


SDA yang tidak dapat diperbarui: sumber daya yang jumlahnya terbatas dan tidak bisa diperbarui dalam waktu singkat.


Contoh: batu bara, minyak bumi, emas, gas alam.


2. SDA Berdasarkan Asalnya

SDA Hayati (biotik): berasal dari makhluk hidup.


Contoh: kayu (dari pohon), ikan, hewan ternak, tanaman pangan.


SDA Non-hayati (abiotik): berasal dari benda mati.


Contoh: air, tanah, udara, logam, batu bara.










Rabu, 14 Mei 2025

sejak bayi

 Sejak bayi kecil, Shinta, Wawa, dan Cantiqa selalu menjadi teman bermain yang tak terpisahkan. Mereka tinggal di kampung yang sama, dan rumah mereka hanya berjarak beberapa langkah. Walaupun memiliki kepribadian yang sangat berbeda, ketiganya selalu saling melengkapi dan menjadi satu kesatuan yang kuat.


Shinta, yang pendiam, lebih suka duduk di pojok dan membaca buku. Meskipun jarang berbicara, Shinta selalu mendengarkan dengan penuh perhatian saat teman-temannya bercerita. Matanya yang penuh pengertian membuat orang merasa nyaman dan dihargai.


Wawa, yang ceplas-ceplos, selalu memecah keheningan dengan lelucon dan cerita konyolnya. Wawa tidak pernah takut untuk mengungkapkan apa yang ada di pikirannya, dan sering kali membuat teman-temannya tertawa terbahak-bahak. Ia adalah pemecah kebosanan di setiap situasi.


Cantiqa, yang aktif, selalu penuh energi. Ia suka mengajak teman-temannya untuk bermain di luar rumah, ikut lomba lari, atau bahkan mendaki bukit yang ada di dekat kampung mereka. Meski sering kali terburu-buru dan penuh semangat, Cantiqa selalu tahu kapan harus berhenti dan memberi ruang bagi teman-temannya.


Kebersamaan yang Terjalin

Suatu sore, saat mereka berumur 7 tahun, mereka bermain petak umpet di halaman rumah Cantiqa. Shinta yang lebih suka bersembunyi di tempat yang tenang hampir selalu terlewatkan, sementara Wawa yang tidak sabaran sering berlari keliling tanpa peduli, dan Cantiqa yang lincah selalu jadi yang pertama menemui teman yang bersembunyi.


Pada suatu hari, Cantiqa mengajak mereka untuk mengikuti lomba lari antar kampung. Wawa langsung semangat dan mulai mempersiapkan dirinya dengan latihan. Shinta, yang lebih suka duduk tenang, sempat ragu untuk ikut. Namun, dengan dukungan Wawa yang ceplas-ceplos dan Cantiqa yang terus memberi semangat, akhirnya Shinta setuju untuk ikut.


Pada hari perlombaan, Shinta tidak menjadi juara pertama atau kedua, tetapi ia merasa bangga bisa berpartisipasi. Wawa yang juara pertama, Cantiqa juara kedua, dan Shinta merasa senang melihat mereka berdua bahagia. Itu bukan soal menang atau kalah, tapi kebersamaan yang mereka rasakan.


Momen Tak Terlupakan

Saat mereka duduk bersama di bawah pohon besar, setelah bermain seharian, Cantiqa berkata dengan senyum lebar:


“Kita itu seperti tim, saling melengkapi. Kalo aku nggak bisa lari, Wawa yang cepet, dan Shinta yang paling sabar.”


Shinta yang jarang berbicara hanya tersenyum dan mengangguk. Terkadang, tidak perlu banyak kata untuk menunjukkan betapa berharganya persahabatan. Wawa menambahkan, dengan tawa khasnya:


“Iya, kita ini kayak kombo super, ada yang cepat, ada yang sabar, dan ada yang selalu bikin konyol! Tapi tanpa kita bertiga, pasti nggak seru!”


Mereka tertawa bersama, dan momen itu terpatri dalam ingatan mereka selamanya—betapa perbedaan bisa menjadi kekuatan, dan persahabatan yang baik adalah tentang saling mendukung, tanpa peduli seberapa berbeda pun mereka.


Kebersamaan yang Tak Pernah Pudar

Saat beranjak remaja, mereka tetap menjadi sahabat yang tak terpisahkan. Meskipun masing-masing mulai sibuk dengan kegiatan pribadi, mereka selalu meluangkan waktu untuk bertemu dan mengingat kembali masa kecil mereka. Shinta, Wawa, dan Cantiqa tahu bahwa meskipun dunia berubah, persahabatan mereka tetap akan abadi.


Pelajaran dari mereka: Terkadang, perbedaan kepribadian bukanlah penghalang, melainkan justru menjadi kekuatan yang membuat persahabatan semakin indah. Ketiganya mengajarkan bahwa persahabatan sejati adalah tentang menerima dan mendukung satu sama lain, apapun kekurangan atau kelebihan yang dimiliki.




sayangku

 Dulu, circle itu hanya berempat: Shinta, Sherly, Reni, dan Wanda. Mereka hampir selalu terlihat bersama—entah di kantin, di barisan upacara, atau di sudut kelas saat istirahat. Masing-masing punya peran: Shinta si bijak, Sherly si cerewet tapi lucu, Reni si pendiam penuh ide, dan Wanda si kalem tapi jago matematika.


Hari itu, suasana sedikit berubah. Ada siswi baru pindahan dari sekolah luar kota. Namanya Salsa—anak tinggi, berkulit cerah, dengan gaya bicara halus tapi tegas. Awalnya, tidak ada dari mereka yang berani mengajak bicara. Salsa duduk sendiri di pojok kelas, sibuk menulis sesuatu di buku kecilnya.


Wanda yang pertama kali memulai.


“Eh, kamu suka gambar ya?” tanyanya pelan saat melihat sketsa bunga di pinggir buku Salsa.


Salsa tersenyum kecil.


“Iya... cuma hobi aja. Kamu juga suka?”


Itu percakapan pertama yang membuka pintu. Hari-hari berikutnya, Salsa mulai sering duduk dekat mereka. Shinta yang biasanya hati-hati dengan orang baru, diam-diam mulai senang mendengar cerita Salsa tentang sekolah lamanya. Sherly yang cerewet akhirnya nemu “lawan” sepadan—karena ternyata Salsa juga bisa nyerocos kalau lagi semangat. Reni bahkan mengajak Salsa gabung bikin proyek mading sekolah, dan hasilnya bikin satu angkatan terpukau.


Awalnya memang ada rasa canggung. Ada momen ketika Reni merasa tersaingi, atau Sherly sempat berpikir Salsa terlalu cepat akrab. Tapi semua itu cair saat mereka berlima ikut lomba kelas memasak bareng dan justru menang juara 1 karena ide unik Salsa: nasi goreng teri pete ala rumah neneknya.


Hari itu mereka foto bareng sambil tertawa lepas, dan Sherly berteriak:


“Dulu kita kuartet, sekarang kita girlband, berlima!”


Mereka tertawa. Tak ada lagi “anak baru”, tak ada lagi yang merasa terpisah.


Sejak saat itu, mereka bukan hanya empat, tapi lima sahabat yang tumbuh bersama, saling mengisi, dan menjadikan perbedaan sebagai kekuatan.







persahabatan

 

Jesika dan Shinta bersahabat sejak mereka masih duduk di bangku TK. Rumah mereka hanya berjarak tiga gang, dan setiap pagi mereka selalu berjalan kaki bersama ke sekolah sambil membawa tas kecil bergambar kartun kesayangan.


Sejak kecil, mereka tak terpisahkan. Waktu Shinta jatuh dari ayunan dan lututnya berdarah, Jesika yang menangis duluan. Saat Jesika takut tampil di pentas menyanyi TK, Shinta menggenggam tangannya sambil bilang, “Anggap aja kita nyanyi berdua, ya.”


Di SD, mereka selalu duduk sebangku. Jesika yang pendiam dan senang menggambar sering membuat ilustrasi untuk tugas Shinta, sementara Shinta yang pandai berbicara sering membantu Jesika saat presentasi. Kombinasi mereka seperti langit dan pelangi: saling melengkapi.


Tahun demi tahun berlalu, bahkan ketika mereka masuk MTs Jaya Bakti dan harus ditempatkan di kelas yang berbeda, persahabatan mereka tetap kuat. Mereka selalu menyempatkan duduk bersama saat istirahat, saling bercerita soal guru, tugas, bahkan rahasia kecil yang tak semua orang tahu.


Satu hari, saat Jesika mengalami masa sulit karena ayahnya sakit dan semangat belajarnya menurun, Shinta tak tinggal diam. Ia datang setiap sore, membawakan catatan, membantu belajar, bahkan kadang hanya duduk diam di samping Jesika agar temannya tidak merasa sendiri.


Di bawah pohon mangga di halaman belakang sekolah, mereka pernah membuat janji dengan jari kelingking:


“Sampai kita tua nanti, kamu tetap sahabatku, ya.”


Jesika mengangguk sambil tersenyum kecil. Sejak hari itu, keduanya tahu: persahabatan mereka bukan sekadar karena sering bermain bersama, tapi karena mereka saling menjaga, memahami, dan bertumbuh bersama—dari langkah kecil waktu TK, sampai mimpi besar saat remaja.


Kalau kamu ingin versi cerpen lebih panjang atau dijadikan drama pendek, aku



pertemanan


Di sebuah desa ada sebuah sekolah namanya MI Mazroatul Ulum Jaya Bakti, semua guru dan siswa pasti tahu siapa Shinta dan Wanda. Mereka temenan sejak kelas 1, meskipun sifat mereka sangat berbeda. Wanda adalah anak yang aktif, cerewet, dan suka mencoba hal-hal baru. Sedangkan Shinta, lebih kalem, pendiam, dan senang mengamati dari jauh.


Mereka pertama kali dekat saat Wanda tiba-tiba mengajak Shinta bermain lompat tali di halaman sekolah. Shinta awalnya ragu, tapi Wanda tidak menyerah. “Ayo dong, Shinta! Kalau kamu nggak ikut, nanti talinya nggak bisa muter!” katanya sambil tersenyum lebar. Sejak saat itu, mereka tak terpisahkan.


Wanda sering menyeret Shinta ke kegiatan sekolah—lomba kebersihan kelas, pentas seni, sampai ikut pramuka. Sementara Shinta, dengan tenang, selalu jadi penyeimbang Wanda. Ia suka membantu menyiapkan peralatan, membuat catatan, atau sekadar mengingatkan Wanda untuk tidak terlalu ribut di kelas.


Walaupun berbeda, mereka saling melengkapi. Shinta mengajarkan Wanda untuk lebih sabar dan teliti, sedangkan Wanda membantu Shinta menjadi lebih percaya diri. Guru-guru pun sering menjadikan mereka contoh tentang arti persahabatan yang saling memahami.


Setiap sore, setelah pulang sekolah, mereka duduk bersama di depan mushola kecil dekat sekolah sambil mengobrol. Kadang, Wanda bercerita panjang lebar tentang mimpinya jadi presenter, dan Shinta hanya tersenyum sambil mendengarkan.


“Kalau aku jadi presenter nanti, kamu harus nonton ya, Shin!”

“Pasti,” jawab Shinta pelan, “asal kamu nggak lupa sama aku.”


Wanda tertawa, lalu merangkul sahabatnya. “Mana mungkin aku lupa? Kamu kan temen terbaikku sejak MI Mazroatul Ulum!”


Dan memang, sampai mereka dewasa, kenangan itu tetap hidup di hati mereka.


Kalau kamu mau cerita ini dijadikan cerbung (cerita bersambung) atau versi yang lebih panjang,


ujian sekolah

 Hari ini adalah hari yang sangat penting bagi Shinta dan Sherly, dua siswi kelas 3 MTs Jaya Bakti. Mereka telah menunggu hari ini selama be...