Jesika dan Shinta bersahabat sejak mereka masih duduk di bangku TK. Rumah mereka hanya berjarak tiga gang, dan setiap pagi mereka selalu berjalan kaki bersama ke sekolah sambil membawa tas kecil bergambar kartun kesayangan.
Sejak kecil, mereka tak terpisahkan. Waktu Shinta jatuh dari ayunan dan lututnya berdarah, Jesika yang menangis duluan. Saat Jesika takut tampil di pentas menyanyi TK, Shinta menggenggam tangannya sambil bilang, “Anggap aja kita nyanyi berdua, ya.”
Di SD, mereka selalu duduk sebangku. Jesika yang pendiam dan senang menggambar sering membuat ilustrasi untuk tugas Shinta, sementara Shinta yang pandai berbicara sering membantu Jesika saat presentasi. Kombinasi mereka seperti langit dan pelangi: saling melengkapi.
Tahun demi tahun berlalu, bahkan ketika mereka masuk MTs Jaya Bakti dan harus ditempatkan di kelas yang berbeda, persahabatan mereka tetap kuat. Mereka selalu menyempatkan duduk bersama saat istirahat, saling bercerita soal guru, tugas, bahkan rahasia kecil yang tak semua orang tahu.
Satu hari, saat Jesika mengalami masa sulit karena ayahnya sakit dan semangat belajarnya menurun, Shinta tak tinggal diam. Ia datang setiap sore, membawakan catatan, membantu belajar, bahkan kadang hanya duduk diam di samping Jesika agar temannya tidak merasa sendiri.
Di bawah pohon mangga di halaman belakang sekolah, mereka pernah membuat janji dengan jari kelingking:
“Sampai kita tua nanti, kamu tetap sahabatku, ya.”
Jesika mengangguk sambil tersenyum kecil. Sejak hari itu, keduanya tahu: persahabatan mereka bukan sekadar karena sering bermain bersama, tapi karena mereka saling menjaga, memahami, dan bertumbuh bersama—dari langkah kecil waktu TK, sampai mimpi besar saat remaja.
Kalau kamu ingin versi cerpen lebih panjang atau dijadikan drama pendek, aku
Tidak ada komentar:
Posting Komentar