Dulu, circle itu hanya berempat: Shinta, Sherly, Reni, dan Wanda. Mereka hampir selalu terlihat bersama—entah di kantin, di barisan upacara, atau di sudut kelas saat istirahat. Masing-masing punya peran: Shinta si bijak, Sherly si cerewet tapi lucu, Reni si pendiam penuh ide, dan Wanda si kalem tapi jago matematika.
Hari itu, suasana sedikit berubah. Ada siswi baru pindahan dari sekolah luar kota. Namanya Salsa—anak tinggi, berkulit cerah, dengan gaya bicara halus tapi tegas. Awalnya, tidak ada dari mereka yang berani mengajak bicara. Salsa duduk sendiri di pojok kelas, sibuk menulis sesuatu di buku kecilnya.
Wanda yang pertama kali memulai.
“Eh, kamu suka gambar ya?” tanyanya pelan saat melihat sketsa bunga di pinggir buku Salsa.
Salsa tersenyum kecil.
“Iya... cuma hobi aja. Kamu juga suka?”
Itu percakapan pertama yang membuka pintu. Hari-hari berikutnya, Salsa mulai sering duduk dekat mereka. Shinta yang biasanya hati-hati dengan orang baru, diam-diam mulai senang mendengar cerita Salsa tentang sekolah lamanya. Sherly yang cerewet akhirnya nemu “lawan” sepadan—karena ternyata Salsa juga bisa nyerocos kalau lagi semangat. Reni bahkan mengajak Salsa gabung bikin proyek mading sekolah, dan hasilnya bikin satu angkatan terpukau.
Awalnya memang ada rasa canggung. Ada momen ketika Reni merasa tersaingi, atau Sherly sempat berpikir Salsa terlalu cepat akrab. Tapi semua itu cair saat mereka berlima ikut lomba kelas memasak bareng dan justru menang juara 1 karena ide unik Salsa: nasi goreng teri pete ala rumah neneknya.
Hari itu mereka foto bareng sambil tertawa lepas, dan Sherly berteriak:
“Dulu kita kuartet, sekarang kita girlband, berlima!”
Mereka tertawa. Tak ada lagi “anak baru”, tak ada lagi yang merasa terpisah.
Sejak saat itu, mereka bukan hanya empat, tapi lima sahabat yang tumbuh bersama, saling mengisi, dan menjadikan perbedaan sebagai kekuatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar